AGUS SUNYOTO: Jejak Dakwah Islam Cina di Nusantara
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7
Masehi, sejaman dengan era Khalifah Utsman bin Affan berkuasa. Semangat
penyebaran Islam, dipicu oleh hadits Nabi Muhammad Saw yang
berbunyi,”Sampaikan apa yang dari aku sekalipun satu ayat (balighu ani walau ayatan)”.
Sejarah mencatat, yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara
adalah para saudagar Arab, yang sudah membangun jalur perhubungan dagang
dengan Nusantara jauh sebelum Islam (Wheatley, 1961). Sebuah kasus
kehadiran seorang saudagar Arab (tazhi) pada masa Ratu Simha
di Kerajaan Kalingga, diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang
yang melaporkan bagaimana akibat ulah seorang saudagar Arab membawa
akibat kaki putera mahkota Kalingga dipotong (Groeneveldt, 1960). S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat
migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan
Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di pantai
utara Pulau Jawa yang disebut Loram atau Leran. Terdapatnya makam
Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk
kronogram abad ke-10 Masehi adalah bukti kebenaran berita tersebut.
Terdapatnya makam tua di Ngantang yang dikenal sebagai makam Eyang Saga
Lor, yang diyakini lebih tua dari era Walisongo menunjuk pula pada
keberadaan suku Lor asal Persia di Jawa. Bahkan kisah tokoh legendaris
Syaikh Subakir yang dihubungkan dengan Persia, menunjuk pada terjadinya
hubungan antara Jawa dengan Persia.
Pengaruh Cina di Nusantara dalam agama dan budaya, kurang cukup
signifikan selain daripada perniagaan laut yang mulai tercatat sejak
abad ke-5 Masehi. Pengaruh Cina di Nusantara justru berkaitan dengan
Agama Islam yang masuk ke Cina dan dianut penduduk Cina pada pertengahan
abad ke-7 Masehi. Menurut Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History,
kontak perdagangan antara Arab dan Canton sudah terjadi sekitar tahun
600 Masehi, melalui Selat Malaka. Namun Islam baru dianut oleh penduduk
Cina pada pertengahan abad ke-8, yaitu saat putera mahkota Su Tsung
putera kaisar Hsuan Tsung pada 756 M meminta bantuan kepada Khalifah
Al-Manshur dari Abbasiyyah untuk mengatasi pemberontakan yang
menggulingkan tahta kaisar dan telah menguasai kota Si-ngan-fu dan
Ho-nan-fu. Dengan bantuan pasukan Arab, Su Tsung berhasil merebut kedua
kota utama dan menghancurkan kekuatan para pemberontak. Setelah perang
berakhir, pasukan Arab dikisahkan tidak kembali ke negerinya melainkan
menetap di Cina. Meski sempat terlibat konflik dengan gubernur Canton
yang memaksa mereka beralih agama, kaisar akhirnya membolehkan mereka
untuk tinggal di Cina dan bahkan memberi anugerah tanah dan rumah di
berbagai kota di mana mereka menetap dan menikahi perempuan-perempuan
setempat.
Selama masa pemerintahan Dinasti Tang (619-907), kota Quanzhou di
provinsi Fujian terkenal sebagai pelabuhan dagang dan pusat penyebaran
Islam di Tiongkok selatan. Di Quanzhou terdapat masjid-masjid tertua di
Tiongkok dan makam muslim kuno yang batu nisannya terukir huruf Arab dan
Persia. Sekitar tahun 713-742 sudah dicatat kehadiran orang-orang Arab
yang membawa kitab suci untuk hadiah kepada kaisar Tang. Sejak masa
itu, ajaran agama dari negeri asing itu bercampur dengan ajaran agama
pribumi Cina. Mas’udi mencatat bahwa pada pertengahan abad ke-9, Canton sudah
menjadi kota yang dihuni masyarakat muslim yang sebagian adalah
saudagar-saudagar dari Basrah, Siraf, Oman, dan kota-kota pelabuhan
India. Namun akibat serangan pemberontak Huang Chao pada 879 M, tidak
kurang dari 200.000 orang Muslim,Yahudi, Majusi, Kristen tewas oleh
senjata atau tenggelam dalam air ketika lari dikejar-kejar para
pemberontak. Meski hancur, masyarakat Islam Canton tidak punah sama
sekali. Perlahan-lahan masyarakat dagang muslim bangkit lagi dan
belakangan bahkan menyebar dari Canton ke Propinsi Yangchouw dan
Chanchouw.
Pada saat Khubilai Khan berkuasa tahun 1275 M, ia memberi semacam
kebebasan dan kepercayaan kepada orang-orang Islam dari Turkestan di
Asia Tengah untuk keluar masuk negeri Cina. Orang-orang Turk Islam asal
Balkh, Bukhara, Samarkand yang dipercaya itu selain beroleh kedudukan
yang cukup baik juga ada yang menduduki jabatan menteri di istana
kaisar. Orang-orang asal Turkestan inilah yang mengembangkan dakwah
Islam di berbagai tempat di wilayah kekuasaan Khublai Khan, termasuk di
Campa yang ditaklukkan panglima muslim bernama Hasanuddin, kepercayaan
Khublai Khan.
Pengaruh Islam dari Cina yang tidak boleh dilewatkan adalah yang
berhubungan dengan kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Nusantara yang
dimulai tahun 1405 M, di mana sebelum ke Jawa singgah terlebih dulu ke
Samudera Pasai menemui Sultan Zainal Abidin Bahiansyah dalam rangka
membuka hubungan politik dan perdagangan. Tahun 1405 M itu, sewaktu di
Jawa, juru tulis Laksamana Cheng Ho menemukan komunitas masyarakat
muslim Tionghoa di Tuban, Gresik dan Surabaya dengan rincian
masing-masing berjumlah seribu keluarga. Pada tahun 1407 M, Laksamana
Cheng Ho singgah di Palembang, menumpas para perompak Hokkian dan
kemudian membentuk masyarakat muslim Tionghoa di perantauan. Cheng Ho
membentuk masyarakat muslim Tionghoa di Sambas, Kalimantan barat tahun
1407 M itu juga.
Dalam pelayaran ke selatan, Cheng Ho diketahui mengajak kaum muslim.
Sejumlah nama tokoh muslim yang ikut dalam pelayaran Cheng Ho adalah Ma
Huan, Guo Chongli, Hasan, Sha’ban, Pu Heri. Ma Huan dan Gou Chongli
adalah ahli bahasa Arab dan Persia, yang bertugas sebagai penerjemah.
Hasan adalah ulama dari masjid Yang Shi di kota Xian di Provinsi Shan
Xi. Sha’ban adalah orang asal Calicut di India.
Di dalam historiografi seperti naskah Nagarakretabhumi sarga III dan IV disebutkan
bahwa penyebar Islam di Karawang, Syaikh Hasanuddin, adalah putera
Syaikh Yusuf Siddik asal negeri Campa. Ia datang ke Jawa bersama
armada Cina yang dipimpin panglima besar Wai-ping dan laksamana Te Ho
(Cheng Ho). Syaikh Hasanuddin turun dari kapal dan tinggal di Karawang.
Setelah menurunkan Syaikh Hasanuddin di Karawang, armada Cina dikisahkan
ke Bandar Muara Jati di Cirebon, menjalin persahabatan dengan Sahbandar
Ki Gedeng Tapa dan membangun menara (mercu suar) di pantai Muara Jati.
Di Karawang Syaikh Hasanuddin dikisahkan menikah dengan gadis bangsawan Karawang bernama Nay Retna Parwati dan mendirikan pesantren di Tanjung Pura. Pendirian pesantren diperkirakan pada tahun 1418 Masehi, yaitu setahun setelah kunjungan armada Cina di bawah laksamana Cheng Ho yang ke-5 pada 1417 Masehi. Dengan cara dakwah yang simpatik melalui uraian Agama Islam yang mudah difahami dan terutama keindahan suaranya dalam melantunkan Al-Qur’an, penduduk setempat banyak yang tertarik dan dengan sukarela mengikrarkan diri masuk Islam. Karena keindahan suaranya dalam membaca Al-Qur’an, Syaikh Hasanuddin kemudian dikenal dengan sebutan Syaikh Quro atau Syekh Kuro, yang bermakna Ahli Membaca Al-Qur’an. Bertolak dari kisah Syaikh Hasanuddin, dapat diasumsikan bahwa ulama asal Campa tersebut sengaja diturunkan oleh laksamana Cheng Ho dengan tujuan untuk menyebarkan dakwah Islam di Jawa.
Di dalam Naskah Nagarakretabhumi sarga III disebutkan bahwa Syaikh Hasanuddin memiliki putera bernama Syaikh Bentong, yang menikah dengan seorang muslimah Cina bernama Siu The Yo. Syaikh Bentong dikenal sebagai juragan yang kaya raya dan tinggal di Gresik. Syaikh Bentong memiliki puteri bernama Nay Retna Siu Ban-ci diperisteri Prabhu Brawijaya V Raja Majapahit, yang menurunkan Raden Patah Sultan Demak. Jika sumber naskah Nagarakretabhumi ini otentik, berarti Syaikh Hasanuddin atau Syaikh Quro Karawang adalah kakek buyut Raden Patah Sultan Demak dari galur ibu. Demikianlah, karena dianggap sebagai peletak dakwah Islam pertama di Jawa barat, makam Syaikh Hasanuddin sampai sekarang dijadikan salah satu peziarahan yang penting oleh umat Islam yang datang dari berbagai penjuru daerah di Nusantara.
Kisah usaha dakwah Islam yang dihubungkan dengan kedatangan armada Cheng Ho, terekam pula dalam kisah pendaratan Cheng Ho di Semarang karena wakilnya yang bernama Wang Jinghong (Ong King Hong) sakit keras. Setelah dirawat secukupnya, Wang Jinghong ditinggal di Semarang dengan dilayani 10 orang awak kapal. Setelah sembuh, Wang Jinghong bersama pelayan-pelayannya tinggal di Semarang dan menikah dengan perempuan setempat. Sebagai muslim, Wang Jinghong giat mendakwahkan Islam di daerahnya. Wang wafat dalam usia 87 tahun. Jenazahnya dikubur secara Islam. Dia digelari sebutan Kyai Jurumudi Dampo Awang. Sampai sekarang, makam Wang Jinghong ramai diziarahi orang.
Dalam legenda rakyat Betawi, dituturkan kisah pendaratan Cheng Ho di pelabuhan Tanjung Mas di Sunda Kelapa. Pada saat Cheng Ho turun, awak kapalnya banyak yang ikut turun ke darat. Salah seorang di antaranya adalah juru masak bernama Sam Po Soei Soe. Pada saat menonton tarian ronggeng, Sam Po Soei Soe terpikat oleh gadis Betawi yang menari, yaitu Sitiwati. Keduanya lalu sepakat menikah. Sam Po Soei Soe memutuskan tidak ikut armada Cheng Ho tetapi tinggal di Betawi dengan Sitiwati.
Pengaruh muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam, setidaknya terlihat pada bukti-bukti arkeologi di mana pada masjid-masjid kuno yang dibangun pada perempat akhir abad ke-15 seperti Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Kudus dindingnya banyak ditempeli piring porselen dari Dinasti Ming. Keberadaan muslim Tionghoa dalam kaitan dengan perkembangan dakwah Islam, telah dicatat di dalam Babad ing Gresik yang menuturkan bahwa sewaktu Sunan Dalem (Sunan Giri II) diserang balatentara dari Sengguruh, yang membantu Sunan Dalem menghadang pasukan Sengguruh di Lamongan adalah Prajurit Patangpuluhan Tionghoa bersenjata api pimpinan Panji Laras dan Panji Liris. Meski kalah dan kemudian mundur, pasukan muslim Tionghoa Gresik tetap mengawal Sunan Dalem saat mengungsi ke Gumeno. Pasukan muslim Tionghoa Gresik itu, dicatat pula kepahlawanannya sewaktu membela Panembahan Agung (cucu buyut Sunan Giri) dari serangan pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Pekik dan permaisurinya, Ratu Pandansari. Pada saat pasukan muslim Tionghoa kalah karena jumlahnya tidak seimbang, pemimpinnya yang bernama Endrasena, ditangkap dan dipenggal oleh pasukan Mataram.
Pengaruh muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam, setidaknya terlihat pada bukti-bukti arkeologi di mana pada masjid-masjid kuno yang dibangun pada perempat akhir abad ke-15 seperti Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Kudus dindingnya banyak ditempeli piring porselen dari Dinasti Ming. Keberadaan muslim Tionghoa dalam kaitan dengan perkembangan dakwah Islam, telah dicatat di dalam Babad ing Gresik yang menuturkan bahwa sewaktu Sunan Dalem (Sunan Giri II) diserang balatentara dari Sengguruh, yang membantu Sunan Dalem menghadang pasukan Sengguruh di Lamongan adalah Prajurit Patangpuluhan Tionghoa bersenjata api pimpinan Panji Laras dan Panji Liris. Meski kalah dan kemudian mundur, pasukan muslim Tionghoa Gresik tetap mengawal Sunan Dalem saat mengungsi ke Gumeno. Pasukan muslim Tionghoa Gresik itu, dicatat pula kepahlawanannya sewaktu membela Panembahan Agung (cucu buyut Sunan Giri) dari serangan pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Pekik dan permaisurinya, Ratu Pandansari. Pada saat pasukan muslim Tionghoa kalah karena jumlahnya tidak seimbang, pemimpinnya yang bernama Endrasena, ditangkap dan dipenggal oleh pasukan Mataram.
Pada saat penguasa Giri dipegang Pangeran Mas Witono, putera
Panembahan Agung, dicatat bahwa ia telah mengangkat seorang muslim Cina
bernama Kertilaksana menjadi penguasa di Gresik selatan. Hubungan para
penguasa Giri dengan muslim Cina semenjak jaman Sunan Giri, tampaknya
berlangsung dari generasi ke generasi. Ikatan untuk saling bela itu,
tampaknya lebih disebabkan karena faktor agama.
0 komentar:
TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG KAMI