Dondandian Paloko Kinalang Sebagai The Contract Social Manifest di Tanah Bolaang Mongondow (oleh : Taufik W Mamonto)

17.44 Unknown 0 Comments

Demokrasi merupakan pilar yang sangat penting dalam mengatur hajat orang banyak. Paham yang berkembang semenjak era Yunani ini sampai sekarang terdapat di seluruh dunia yang menginginkan adanya tupoksi dalam pengaturan roda pemerintahan. Kan rasanya jelas "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" (from people, by the people and to the people). Legislatif, eksekutif dan yudikatif instrument penting dalam pemisahan kerja para elit negara.

Bolaang mongondow dalam menapaki setiap perjalananya pernah mengalami sistem seperti ini, namun lebih dikemas dengan local wisdom. Jauh sebelum Jhon Locke (1776) mengeluarkan teori tentang The Contract Social. Kasus ini bisa dilihat dari sistem pemerintahan masa lampau yang lebih bersifat Monarki Konstitusional, seperti negara Jepang, Malaysia dsb. Dimana Raja sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Simbol Kenegaraan terdapat pada seorang Raja dan pemerintahan disematkan pada Perdana Menteri.

Masyarakat lokal Bolmong bukan mengadopsi tapi melahirkan kemiripan sistem yang lebih dikenal dengan Dodandian Paloko Kinalang, Perjanjian antara Raja dan Rakyat. Perjanjian (dondandian) lahir lebih bersifat menjunjung tinggi permusyawaratan dalam mufakat. Tudu' In Bakid hadir sebagai tempat permusyawaratan. Kinalang lebih bercirikan Raja (pemerintahan) dan kaum elit Istana sedangkan Paloko adalah perwakilan rakyat yang dilimpahkan kepada seorang yang dikenal dengan Bogani.

Kelahiran Raja Mokodoludut adalah peletak batu pertama perjanjian ini dengan ditandai peristiwa besar sampai para Bogani menyimpulkan dan menyepakati tentang garis keturunan Patrilineal dalam pemilihan Raja selanjutnya. Dampaknya perjanjian ini diikat dengan kepercayaan masyarakat lalu terhadap Kitogi dengan sumpah atau Odi-odi , agar yang disumpah lebih mengedepankan ketaatan atau komitmen terhadap apa yang menjadi sebuah kesepakatan.

Dekade-dekade selanjutnya perjanjian ini mengalami perubahan akan tetapi tidak meninggalkan substansi sebagai pilar tangguh dalam menjaga wilayah Bolaang Mongondow serta menjadi jembatan antara rakyat dan pemimpin.

"Kuntung akuoi ba bibitonku moiko" tidak hanya menjadi seserahan biasa untuk mendapatkan dukungan dari grasroot, namun kalimat ini merupakan fondasi kuat untuk menjalankan roda pemerintahan, serta sebagai habitus (Piere Bourdieu) bagi masyarakat.

Drama politik diera modernkontras dengan sendi-sendi kemasyarakatan. Agenda politik hanya dijadikan corong untuk menarik aspirasi rakyat dengan segala cara. Tidak ada pengikatan secara sakral dalam adat terhadap siapa yang akan menjadi pemimpin, sehingga model politik pun keluar dengan cara yang tidak baik. Menyebabkan masyarakat apatis terhadap politik dan dengan sendirinya demokrasi yang kita idam-idamkan tinggal menjadi konsumsi biasa dan tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Tanpa kita sadari bahwa Bolaang Mongondow punya Investasi demokrasi yang luar biasa kekuatannya, hasil dari gagasan dan ide para leluhur.

Kekuatan ini tidak lagi dilirik dan dihidupkan kembali. Apabila hal ini dikemas kembali dengan sunguh-sungguh maka tidak ada lagi yang namanya kesenjangan antara pemimpin dan dipimpin. Keduanya, akan berjalan berdampingan, sesuai dengan khitah Dodandian.
Apakah para pemimpin serta elit politik lupa dengan sejarah wilayahnya atau takut untuk menghidupkan kembali dodandian ? (Wallahualam).

"Salam Tabi Bo Tanob"

0 komentar:

TERIMAKASIH SUDAH BERKUNJUNG DI BLOG KAMI